Ketika Seni Rupa Berperan Menjadi Suara

Miok

      Bagi sebagian orang, kata-kata terasa terlalu sempit untuk menampung emosi. Bagaimana jadinya ketika seni mencoba untuk mengambil alih peran jurnal harian?

“Painting is just another way of keeping a diary.” —Pablo Picasso

      Layaknya kutipan tersebut, mungkin kamu yang membaca ini pernah merasa relate dengan makna yang disampaikan dalam kalimat itu. Terlebih, sebagai manusia, ada suatu hal yang sangat lekat dengan hari-hari yang kita jalani. Bahkan, jika itu hanya sebuah hari singkat yang kurang bermakna, sejatinya kita takkan bisa lepas dengan emosi yang kita alami.

      Banyak hal yang kita lewati sepanjang hidup, dan merupakan hal yang lumrah ketika kita ingin menumpahkan gejolak perasaan dalam berbagai bentuk. Entah itu melalui kata-kata yang kita sampaikan, nada yang kita lantunkan, sampai torehan kuas yang kita gores pada sebuah kanvas putih. Sebab, di balik setiap ekspresi, ada keinginan setiap insan untuk dapat terhubung dalam lingkungan tempat kita bernaung.

      Mereka yang menjadikan seni sebagai ruang bernapas, paham betul bahwa setiap goresan, bentuk, dan warna bukanlah suatu ‘omong kosong’. Setiap elemen yang ditorehkan menyiratkan makna tertentu yang ingin disampaikan. Perpaduan garis, bentuk, dan warna dalam bidang dua dimensi menciptakan estetika visual yang seolah dapat berbicara pada orang-orang yang melihatnya. Seperti halnya lukisan kucing oleh Louis Wain dan Bryan Charnley yang berubah seiring waktu, mengabadikan riuh yang terjadi dalam dirinya sebagai pengidap skizofrenia.

Lukisan Louis Wain, menggambarkan kucing realis yang lembut hingga pola psikedelik yang abstrak—berubah bentuk seiring skizofrenia yang diidapnya semakin parah Wikimedia Commons/Cats by Louis Wain
Bryan Charnley, yang membuat series self-portrait, yang secara sadar merekam tahapan skizofrenia melalui potret dirinya, yang semakin lama semakin terdistorsi
bryancharnley.info/self_portrait_series_01

      Ada kalanya emosi tertentu terasa tidak cukup jika ditumpahkan pada jurnal harian saja. Terkadang, kita ingin seluruh dunia tahu atas emosi yang kita rasakan—baik itu kegembiraan yang kita ingin rayakan di tengah ramai, kemarahan yang kita tahan agar tak meledak, ataupun kesedihan yang kita genggam dalam diam. Lebih luas, seni juga hadir sebagai media komunikasi yang efektif. Seni tak selalu bicara tentang hal yang personal, tetapi juga dapat menyuarakan yang tak bersuara, menyampaikan keresahan, serta menciptakan ruang dialog. Ia dapat menjelma sebagai speaker yang menyuarakan permasalahan sosial. Seperti pada sampul majalah Tempo yang populer di media sosial belakangan ini, menunjukkan kepiawaian artistik tim ilustrator dalam mengilustrasikan isu sosial dengan penuh keberanian.

      Seni tentu saja dapat menjadi sarana ekspresi emosi, yakni sebagai jurnal harian berwujud rupa, ataupun sebagai media komunikasi yang lantang dan berani. Memang, alat menggambarmu tidak merespons layaknya manusia, tetapi ia memproyeksikan apa yang tak terucap. Jika suatu nanti kamu sempat, yuk ambil kuasmu—atau sesederhana pensil saja pun cukup. Lalu, abadikan perasaanmu melalui perpaduan garis, warna, bentuk, bahkan ruang kosong yang membawakan berbagai makna. Siapa tahu, di sanalah dirimu sedang berbicara paling keras.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top