Menelaah Lukisan Raden Saleh, Implikasi Era Kolonialisme

Gouvernour-generaal Daendels en de Grote Postweg karya Raden Saleh Syarief Bustaman (Sumber : www.rijksmuseum.nl)

     Raden Saleh menggambarkan seorang pria paruh baya berpostur ideal, berbentuk kepala bulat dengan rambut hitam pendek tersisir rapi, jambangnya panjang kebawah hingga ujungnya terlihat segaris dengan hidung. Alisnya tebal, matanya berwarna biru gelap, hidungnya mancung, kulitnya putih dan kemerahan pada bagian pipi, bibirnya berwarna pucat. Dari sini dapat terlihat ciri-ciri fisik  manusia dengan ras Kaukasoid atau bangsa Eropa. Meskipun Raden Saleh tidak pernah bertemu dengan Daendels, berdasarkan catatan sejarah, teridentifikasi bahwa sosok pria ini adalah Herman Willem Daendels, Guberneur Jendral Hinida Belanda ke-36 yang menjabat antara tahun 1808-1811, dan Raden Saleh melukiskannya secara imajiner dan menggunakan kreativitasnya.

     Dalam lukisan “Gouvernour-generaal Daendels en de Grote Postweg” (1838) , Raden Saleh Syarief Bustaman atau yang kerap disapa Raden Saleh berusaha mengungkap konflik politik dan tragedi yang ditimbulkan oleh penindasan kolonialisme dan imperialisme, atau anti-kolonialisme, hal yang lazim diekspresikan oleh para seniman melayu era kolonialisme (Purnomo, 2014). Raden Saleh berusaha menciptakan suasana yang kontras, Daendels dengan “kemegahan”-nya sebagai representasi pemerintah kolonial Belanda dengan otoritasnya yang superior, kemudian di belakang Daendels tampak para pekerja inlander yang sedang membangun jalan raya sebagai representasi pribumi. Ia juga mencoba menunjukan dikotomi penjajah dan yang terjajah, penindas dan yang tertindas, atau penguasa dan yang dikuasai. Daendels sebagai sosok Gubernur Jenderal Hindia-Belanda sebagai seorang penguasa yang sewenang-wenang, yang dengan otoritasnya kemudian menindas kaum pribumi untuk melakukan suatu “mega-proyek” yang menguntungkan strategi dan ekonomi kolonial, yakni membangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan sepanjang 1000 kilometer, selama dua tahun (1808-1810), dan memakan 12.000 korban jiwa.

     Ruang dan waktu adegan dalam lukisan tersebut diambil pada tahun 1810 di desa Megamendung, kecamatan Megamendung,  Bogor, Jawa Barat, di lereng Gunung Paseban, terisyaratkan dari tangan kiri Daendels yang sedang menunjuk kepada salah satu bagian pada yang bertuliskan “Mega Mendong 1810”. Pengambilan latar tersebut disebabkan daerah Megamendung adalah puncak tertinggi dari Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan dengan ketinggian 1408 mdpl sehingga pembangunanya menelan korban yang paling banyak, berdasarkan catatan Toer (2009), sewaktu pembangunan Jalan Raya Pos sampai pada ruas jalan Buitenzorg – Karang Sembung yang melintasi Cisarua, Cianjur, Rajamandala, Bandung, Parakan Muncang, dan Sumedang. Pembangunan itu melewati medan yang cukup berat karena daerah pegunungan dan menelan korban 500 orang. Namun angka tersebut di bawah dugaan karena tidak termasuk orang yang hilang dan mati karena sakit setelah pekerjaan selesai. Dengan melukiskan tangan kiri Daendels yang menunjuk pada peta bertuliskan “Mega Mendong 1810”, Raden Saleh ingin menunjukkan bahwa pada tahun 1810, telah terjadi suatu peristiwa tragis di Megamendung untuk memenuhi ambisi Daendels. Latar belakang lukisan berupa gunung dan pepohonan yang dilukis secara naturalis merepresentasikan sebuah pemandangan yang indah, namun terlihat sosok-sosok pekerja yang bekerja dengan keras dan terlihat kelelahan, yang dapat dipandang sebagai suatu paradoks. Penanda ini dapat ditafsirkan bahwasannya Hindia-Belanda, sebuah negeri dengan alam yang indah nan tenteram, “dikotori” kedatangan penjajah, khususnya oleh ambisi Daendels yang keji.

 

Referensi:

Nirwana, A. (2019). Kajian Ikonografi dan Ikonologi Lukisan Raden Saleh:“Gouvernour-Generaal Daendels en De Grote Postweg”(1838). Citradirga-Jurnal Desain Komunikasi Visual Dan Intermedia, 1(01), 15-15.

Purnomo, S. (2014). Seni Rupa Masa Kolonial: Mooi Indie vs Persagi. Ultimart: Jurnal Komunikasi Visual, 7(2), 7-17.

Toer, P. A. (2006). Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Lentera Dipantara. Jakarta.

Penulis        : Zansisme

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top