Dari Simetri Molekul hingga Orkestrasi Biodiversitas: Keteraturan Struktural dan Estetika Seni Rupa di Setiap Skala Kehidupan

Prajona Marbun

       Pada tahun 2024, ahli seni cadas Indonesia dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adhi Agus Oktaviana, bersama tim peneliti dari Griffith University, menemukan lukisan gua berusia lebih dari 50.000 tahun di Leang Karampuang, lanskap karst (bentang alam batuan kapur) Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Lukisan gua ini berupa ilustrasi naratif yang menyimpan informasi tentang cara hidup manusia prasejarah. Maros-Pangkep merupakan bentang alam karst terluas kedua di dunia dan telah diakui sebagai Geopark Global UNESCO pada 24 Mei 2023. Penemuan ini menunjukkan bahwa lukisan gua tersebut bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga manifestasi hubungan mendalam manusia dengan alam sejak zaman purba kala. Babi hutan, yang menjadi objek utama dalam lukisan, diyakini memiliki simbolisme yang terkait erat dengan perburuan, mitologi, dan spiritualitas pada masa itu. Seni, secara langsung ataupun tidak selalu terinspirasi oleh alam, baik dalam bentuk lanskap, tekstur, warna, maupun simbolisme, sebagaimana terlihat dalam perkembangan seni dalam berbagai peradaban manusia di seluruh dunia.

 

Lukisan babi hutan berusia 51.200 tahun yang ditemukan di gua kapur Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan (atas). Lukisan gua di Lascaux, Prancis sekitar 17.000 tahun yang lalu) yang menggambarkan kuda, rusa, dan bison sebagai bagian dari kehidupan manusia Cro-Magnon yang merupakan nenek moyang manusia modern yang hidup di Eropa pada akhir zaman es (bawah).

      Penemuan situs lukisan prasejarah Maros-Pangkep menjadi pengingat bahwa seni dan alam tidak terpisahkan. Perbukitan kapur yang kokoh berfungsi sebagai kanvas alami manusia purba, sebagaimana alam terus menginspirasi seniman modern. Dari lukisan lanskap impresionis hingga seni instalasi berbasis material organik, alam terbukti telah menjadi sumber eksplorasi artistik. Penemuan ini tidak hanya mengungkap adanya keberadaan seni purba, tetapi juga membuktikan bahwa sejak awal mula peradaban, manusia telah menjadikan alam sebagai ruang belajar, sumber inspirasi, dan sarana ekspresi kreativitas.

Golden Ratio: Panduan Alam untuk Kesempurnaan dalam Proporsi

      Salah satu pelajaran terbesar yang diberikan alam kepada kita adalah konsep Golden Ratio, atau rasio emas. Dari susunan kelopak bunga matahari hingga cangkang spiral nautilus, alam telah menyusun dirinya dalam nilai perbandingan yang mendekati 1,618. Rasio ini tidak hanya menawan secara visual tetapi juga membentuk dasar ukuran proporsionalitas yang terlihat dalam banyak karya seni legendaris, termasuk lukisan Mona Lisa dan arsitektur Parthenon.

Golden ratio sebagai ukuran proporsionalitas ditemukan pada berbagai objek hayati seperti Nautilus sp. dan bunga matahari (Helianthus annuus). Keteraturan yang serupa terlihat pada karya seni realis dan bangun ruang tiga dimensi. ​Rasio emas (φ) adalah bilangan irasional yang nilainya sekitar 1.618. Secara matematis, φ didefinisikan sebagai (1 + √5) / 2. Rasio ini muncul ketika suatu garis dibagi menjadi dua bagian sedemikian rupa sehingga perbandingan antara panjang keseluruhan garis dengan bagian yang lebih panjang sama dengan perbandingan antara bagian yang lebih panjang dengan bagian yang lebih pendek.

      Leonardo da Vinci misalnya, menggunakan rasio ini dalam Vitruvian Man, mencerminkan bagaimana tubuh manusia secara alami mengikuti pola universal yang sama. Pola ini juga terlihat pada proporsi tubuh hewan seperti kuda dan burung elang, yang menunjukkan keselarasan yang tidak hanya estetis tetapi juga memiliki nilai fungsi untuk keberlangsungan hidup.

Molekul Kehidupan: Figur Keteraturan Geometris

      Pada skala atomik, kehidupan tersusun atas molekul-molekul yang membentuk pola yang teratur. Atom karbon, sebagai dasar utama penyusun molekul dalam tubuh makhluk hidup, tidak hanya sekadar senyawa kimia, tetapi juga arsitektur tersembunyi yang mengajarkan kita tentang keindahan keteraturan. Sebagai tulang punggung kehidupan, karbon menyediakan bentuk-bentuk yang teratur dan kuat untuk menyangga keberlangsungan kehidupan. Molekul gula dengan struktur karbon berbentuk simetri heksagonal mengingatkan kita pada desain geometris dalam seni arsitektur, sementara pola lipatan protein dan struktur heliks yang sering kita lihat pada citra DNA mencerminkan ritme dan repetisi yang tak jauh berbeda dari prinsip fraktal dalam seni rupa. 

Molekul gula (glukosa) yang stabil dalam struktur heksagonal. Struktur yang kokoh ini juga ditemukan pada sarang lebah dan menjadi inspirasi untuk berbagai desain arsitektur, produk dan seni hias. DNA manusia yang terkenal dengan bentuk spiral heliks ganda menunjukkan bentuk yang serupa dengan kerajinan pilinan tali temali, produk perhiasan, desain anak tangga, dan konstruksi jembatan.

      Seni rupa, teladan keteraturan, dan sumber inspirasi estetika tidak hanya berhenti pada struktur dan bentuk konstruksi molekul. Pada proses terjadinya reaksi kimia yang terus berlangsung di dalam tubuh, ada transisi warna dan bentuk yang menyerupai sapuan kuas dalam lukisan abstrak, berubah secara dinamis mengikuti hukum alam. Tidak berhenti di situ, molekul fluoresen seperti klorofil dan protein bercahaya memberikan kita pemahaman mendalam tentang bagaimana warna dapat muncul dari interaksi energi, seperti seni cahaya yang memanipulasi spektrum untuk menciptakan efek visual menakjubkan. Dalam molekul-molekul kehidupan, sains menunjukkan pola keindahan yang kita kenal sebagai seni. Hal ini membuktikan bahwa keindahan bukan sekadar ciptaan manusia, tetapi prinsip dasar yang telah tertanam bahkan sejak sebelum adanya tanda-tanda awal mula kehidupan.

Bioluminesensi: Cahaya Metafora dalam Gelap

        Di kedalaman laut, terdapat organisme yang mampu memancarkan cahaya dalam kegelapan. Fenomena cahaya yang ajaib ini dikenal sebagai bioluminesensi. Ubur-ubur, plankton, dan ikan laut dalam menggunakan cahaya ini sebagai bentuk komunikasi, perlindungan, dan daya tarik untuk melangsungkan perkawinan.

Bioluminesensi pada ubur-ubur yang terdampar di Pantai Florida dan spesies jamur Mycena chlorophos terjadi akibat reaksi kimia antara luciferin dan enzim luciferase yang menghasilkan cahaya sebagai respons terhadap rangsangan lingkungan, seperti perlindungan diri atau komunikasi. Pada beberapa spesies, fenomena ini berfungsi untuk menarik mangsa, menakuti predator, atau berinteraksi dengan organisme lain dalam ekosistem. Dalam penelitian medis, gen yang mengkode protein fluoresen dari organisme ini digunakan sebagai penanda dalam pewarnaan sel kanker, memungkinkan ilmuwan melacak aktivitas seluler secara real-time untuk diagnosis dan terapi.

      Fenomena ini telah menginspirasi para seniman dan desainer dalam menciptakan karya-karya seni yang bermain dengan warna neon, efek fosfor, hingga pencahayaan interaktif dalam instalasi seni modern. Fenomena bioluminesensi menginspirasi seni rupa dengan menghadirkan konsep cahaya organik yang dinamis, menciptakan efek visual yang misterius dan transenden, seperti dalam seni instalasi interaktif yang memanfaatkan cahaya dalam ruang gelap. Seniman sering menggunakan pigmen fosforesen, teknologi LED, atau bahan bercahaya untuk meniru keindahan alam ini, menciptakan karya yang berinteraksi dengan lingkungan dan penonton secara imersif. Selain itu, bioluminesensi juga menggambarkan metafora kehidupan, eksistensi, dan ketahanan, menghubungkan ilmu pengetahuan dengan ekspresi emosional dalam berbagai bentuk seni kontemporer. Bahkan dalam film-film fiksi ilmiah seperti Avatar, kita melihat bagaimana warna-warna bioluminesen menciptakan suasana dunia yang magis dan futuristik. Inspirasi ini juga merambah ke dunia fesyen, di mana desainer menggunakan kain yang dapat bersinar dalam gelap untuk menciptakan efek futuristik dan inovatif.

Pola Alam: Keteraturan dalam Simetri dan Fraktal yang Mengesankan
Pola geometri fraktal alami secara sempurna dapat terlihat pada bagian terkecil hingga paling kasat mata dari tumbuhan. Pola ini tampak dalam percabangan pohon di hutan, bentuk daun majemuk, hingga struktur mikroskopis jaringan daun, yang mengikuti prinsip pengulangan mandiri untuk efisiensi pertumbuhan dan distribusi nutrien. Pola ini memungkinkan tanaman mengoptimalkan penyerapan cahaya matahari, aliran nutrisi, dan pertukaran gas, mencerminkan keseimbangan sempurna antara keteraturan dan adaptasi biologis. Warna hijau dominan pada daun, yang dihasilkan oleh klorofil, merupakan bukti harmoni alam, di mana struktur fraktal dan pigmen bekerja bersama untuk menangkap energi matahari secara maksimal dalam proses fotosintesis.

      Makhluk hayati juga mengajarkan tentang pola simetri dan fraktal atau bentuk geometris berulang sebagai keteraturan alami yang sangat mengesankan dan menakjubkan. Sayap kupu-kupu dengan keseimbangannya yang sempurna, sisik ular yang mengikuti bentuk geometris kompleks, hingga cabang-cabang pohon yang bercabang dengan pola yang teratur dan konsisten. Fraktal dalam bentuk pakis atau pola es yang terbentuk di jendela musim dingin adalah bukti bahwa alam memiliki logika visual yang dapat diterjemahkan dalam seni. Pola ini juga terlihat pada kulit zebra dan macan tutul, yang tidak hanya berfungsi sebagai kamuflase tetapi juga memiliki daya tarik estetis yang kuat. Inspirasi dari pola-pola alami ini banyak digunakan dalam desain tekstil dan arsitektur modern. Fenomena fraktal dalam tumbuhan menginspirasi seni rupa melalui eksplorasi pola berulang yang menciptakan komposisi harmonis, seperti dalam lukisan, arsitektur biomimetik, dan seni digital yang meniru keteraturan alam. Seniman sering mengadopsi struktur percabangan dan bentuk spiral untuk menciptakan karya yang menggambarkan keseimbangan antara keteraturan matematis dan ekspresi organik. Selain itu, penggunaan warna dan tekstur yang menyerupai morfologi dan penampakan makhluk hidup mencerminkan hubungan mendalam antara seni dan sains, mengungkapkan bagaimana pola alam dapat diterjemahkan menjadi visual yang estetis dan filosofis.

Warna dalam Alam: Kode Rahasia yang Menawan

      Warna dalam dunia makhluk hayati bukanlah sekadar keindahan visual, tetapi juga memiliki fungsi komunikasi dan adaptasi. Misalnya, burung merak dengan bulu ekornya yang penuh warna menciptakan ilusi kedalaman dan gerakan, menarik pasangan dalam ritual kawin. Bunglon dan gurita memiliki kemampuan mengubah warna kulitnya sebagai bentuk pertahanan atau penyamaran. Palet warna alami ini menjadi inspirasi bagi banyak pelukis dan desainer dalam menciptakan kombinasi warna yang dinamis dan harmonis.

Pola warna mencolok pada burung jantan, seperti bulu merak atau burung cendrawasih, berkembang melalui seleksi seksual, di mana warna-warna cerah dan simetri corak menjadi penanda kesehatan dan kualitas genetik bagi betina. Pigmen biologis seperti karotenoid dan struktur mikroskopis bulu yang memantulkan cahaya menciptakan warna-warna iridesen, yang tidak hanya menarik pasangan tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme komunikasi visual dalam ekosistem. Fenomena ini menunjukkan keteraturan alam dalam mengoptimalkan keberlanjutan spesies, di mana keindahan warna bukan sekadar estetika, tetapi strategi evolusi yang mendukung keberlangsungan hidup melalui keberhasilan reproduksi.

      Fenomena warna mencolok pada burung jantan untuk menarik perhatian burung betina menginspirasi seni rupa dan desain visual dalam bisnis, terutama dalam iklan yang memanfaatkan kombinasi warna cerah dan kontras tinggi untuk menarik perhatian konsumen, mirip dengan cara burung jantan menarik pasangan. Prinsip seleksi visual ini diterapkan dalam branding, kemasan produk, dan desain digital, di mana warna tidak hanya berfungsi sebagai elemen estetis, tetapi juga sebagai sinyal psikologis yang mempengaruhi emosi dan keputusan pembelian. Dengan meniru strategi alam, desainer produk dan kemasan produk menciptakan komposisi visual yang menarik dan efektif, membangun daya tarik serta meningkatkan keterlibatan audiens dalam dunia pemasaran dan komunikasi visual.

Alam dan Makhluk Hidup di Dalamnya: Mahaguru Seni Rupa Kehidupan

      Alam adalah maestro seni rupa yang tidak tertandingi, menciptakan keindahan yang bukan sekadar estetika, tetapi juga strategi bertahan hidup. Dari pola golden ratio yang membentuk proporsi sempurna untuk memandu estetika, geometri molekul kehidupan yang menakjubkan, cahaya magis bioluminesensi yang menghidupkan gelap, pola fraktal tumbuhan yang mengajarkan harmoni keteraturan, hingga warna-warna spektakuler burung jantan yang menjadi senjata dalam seleksi alam. Setiap elemen kehidupan dari alam adalah inspirasi yang tidak terbatas bagi kreativitas manusia. Seni yang belajar dari alam bukan hanya menangkap keindahan, tetapi juga merayakan kecerdasan semesta, menghubungkan sains, emosi, dan ekspresi visual dalam satu kesatuan: dari struktur elegan molekul dalam tubuh, sel yang mampu memendarkan cahaya indah hingga biodiversitas yang maha megah. Dari alam, kita belajar bahwa seni bukan sekadar produk imajinasi manusia, tetapi juga hasil dari pengamatan terhadap harmoni yang sudah ada. Baik dalam desain grafis, arsitektur, tata busana, atau seni lukis. Prinsip-prinsip keteraturan dan keindahan yang ditemukan di alam memandu kita dalam memaknai estetika secara lebih mendalam. Alih-alih hanya mengagumi alam, marilah kita mendengarkan dan belajar dari para guru yang tersembunyi di setiap sudut kehidupan: makhluk hayati yang telah menciptakan seni sejak sebelum manusia memahami apa itu keindahan.

      Kehidupan modern kita mungkin telah jauh berkembang, tetapi jejak keterikatan manusia dengan alam tetap melekat. Manusia purba yang berburu dan meramu menunjukkan penghormatan mereka terhadap alam melalui lukisan gua dan pahatan yang menggambarkan satwa liar serta kehidupan mereka. Warisan itu masih terasa hingga kini, dimana kita telah dan sedang berevolusi di tengah keanekaragaman hayati, dan ketertarikan kita terhadap alam bukan sekadar kebetulan, melainkan sifat bawaan yang diwariskan oleh seleksi alam. Biofilia, kecintaan kita pada kehidupan, bukan hanya refleksi emosional, tetapi juga naluri yang membantu manusia bertahan dan berkembang. Penghargaan terhadap kehidupan inilah yang mendorong kemajuan sains hayati, dari penguraian kode genetik hingga pelestarian spesies yang membentuk ekosistem kita. Sains hayati adalah manifestasi ilmiah dari dorongan manusia untuk memahami dan merayakan kehidupan. Kita merayakan kehidupan dengan menguraikan kode genetik yang membuat setiap spesies unik. Kita merangkul kehidupan dengan menggunakan fosil dan DNA untuk mencatat evolusi dari waktu ke waktu. Kita melestarikan kehidupan melalui upaya kita untuk mengklasifikasikan dan melindungi jutaan spesies di Bumi. Kita menghargai kehidupan dengan menggunakan alam secara bertanggung jawab dan penuh hormat untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Sains hayati adalah ekspresi ilmiah dari keinginan kita untuk mengetahui alam. Kita cenderung melindungi apa yang kita hargai dan cenderung menghargai apa yang kita pahami. Dengan mempelajari proses dan keanekaragaman kehidupan, kita menjadi lebih sadar akan tempat kita di biosfer.

(From the Final Chapter of Campbell: Biology, 12th edition, 2021)

Sumber Pustaka

Oktaviana, A.A., Joannes-Boyau, R., Hakim, B. et al. Narrative cave art in Indonesia by 51,200 years ago. Nature 631, 814–818 (2024). https://doi.org/10.1038/s41586-024-07541-7 

Marples, C. R., & Williams, P. M. (2022). The golden ratio in nature: A tour across length scales. Symmetry, 14(10), 2059. https://doi.org/10.3390/sym14102059 

Van Essendelft, A. (2020). The golden ratio. William & Mary. Retrieved from https://cklixx.people.wm.edu/teaching/math400/GoldenRatio-paper.pdf 

Urry, L. A., Cain, M. L., Wasserman, S. A., Minorsky, P. V., & Orr, R. B. (2021). Campbell biology (12th ed.). Pearson. ISBN 9780135858141, 0135858143.

Martin, P. R., Montgomerie, R., & Lougheed, S. C. (2015). Color patterns of closely related bird species are more divergent at intermediate levels of breeding-range sympatry. The American Naturalist, 185(4), 443–451. https://doi.org/10.1086/680206 

Sumber Ilustrasi

Narrative cave art in Indonesia, Oktaviana et al. (2024), nature : original article

Glucose Molecules, created by Artystarty, retrieved from iStock, 2025

Human DNA,  Free Copyright Picture, retrieved from mrwallpaper.com, 2025

Bioluminescent ctenophore, captured by Lisa Werner, retrieved from Alamy Stock Photo, 2025 

Bioluminescent algaea, captured by Aristal Branson, retrieved from Pixabay, 2025

Mycena chlorophos, BCCL Non Copyright Picture, retrieved from Indiatimes.com, 2025

CRISPR modified cells with GFP expression, retrieved from Wikimedia Commons, 2025

Araucaria araucana, captured by Gustavo Miranda Holley, retrieved from Getty Images, 2025

Tree as fractals in nature, Non Copyright Picture, retrieved from midfullecotourism.com, 2025

The mesmerising beauty of fractals, Free Copyright Picture, retrieved from Wallpapers.com, 2025

Design from patterns to details, Non Copyright Picture, retrieved rom smallthings.org.uk, 2025

Female and male northern cardinals, captured by Bonnie Taylor Barry, retrieved from Shutterstock, 2025

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top