
(Gambar asli: https://en.wikipedia.org/wiki/Catharina_van_Hemessen#/media/File:Hemessen-Selbstbildnis.jpg)
Teman-teman seniman pasti sudah tidak asing kan dengan penggunaan AI dalam komunitas seni?
AI generatif menjadi konsekuensi tak terelakkan dari kemajuan teknologi dan sifat manusia yang terus mencari kemudahan. Dalam beberapa tahun ke belakang, dunia seni juga telah “diganggu” oleh kehadiran mesin berteknologi tinggi ini.
Karya yang dihasilkan AI berasal dari proses mengolah kumpulan gambar-gambar dari internet yang berbentuk karya seni dan fotografi dengan bantuan mesin translasi (image-to-text). Popularitas AI mulai mengancam industri seni rupa, ditandai dengan banyaknya perusahaan dan brand yang mengganti pekerja kreatifnya dengan AI yang dianggap lebih murah.
Dilihat dari konsekuensinya, jelas bahwa penggunaan AI bersifat destruktif terhadap perkembangan seni. Eksploitasi, masalah hak cipta, dehumanisasi—apakah belum cukup alasan-alasan faktual ini menjawab pertanyaan “emang kenapa sih?”? Nah karena ternyata jawabannya cukup simpel, rasanya penulis ingin bahas lebih dalam lagi…
Apa yang membedakan AI dengan Human Intelligence?
Jika ditelusuri, cara kerja AI sebagai mesin algoritma adalah dengan “menerjemahkan” gambar-gambar “referensi” menjadi sekumpulan teks, lalu teks yang di-input oleh pengguna akan diterjemahkan menjadi gambar kembali. AI akan menyusun gambar berdasarkan gambar-gambar yang pernah “dilihatnya” sebelumnya dan tidak mampu menciptakan hal baru—apapun yang tidak ada dalam database-nya. Mungkin bisa kita bandingkan dengan kemampuan manusia untuk menggambar hanya ketika kita pernah melihat wujud dari objek yang akan digambar. Jika dijauhkan lagi, proses generatif AI mungkin bisa kita bandingkan dengan mannerism dalam sejarah seni (🤓☝️).

(Sumber: https://voegelinview.com/the-chinese-room-thought-experiment-by-john-searle/)
Yang membedakan adalah bahwa AI tidak memiliki agency seperti manusia. Ia tidak benar-benar cerdas, ia hanyalah sebuah mesin yang kecanggihannya melebihi pemahaman kebanyakan penggunanya. Agency—kesadaran, otonomi, otoritas—dalam AI terletak pada penggunanya. Kita tidak bisa membandingkan AI dengan kecerdasan manusia, karena “intelligence” dalam AI tidak bermakna sama dengan kecerdasan yang dimiliki manusia. Dengan tidak memiliki agency, maka AI juga tidak dapat dipandang sebagai seniman; begitu juga penggunanya yang tidak memiliki kesadaran dan pertanggungjawaban artistik atas karya yang diproses oleh AI.
(Sumber: Clip Studio Paint User Guide: AI Tools [https://help.clip-studio.com/en-us/manual_en/390_filters/AI_Tools.htm])
Referensi
Arielli, Emanuele & Manovich, Lev (2022). AI-aesthetics and the Anthropocentric Myth of Creativity. NODES 1 (19-20).
Arielli, Emanuele & Manovich, Lev (2023). Artificial Aesthetics. Chapter 5 (Lev Manovich): AI image and Generative Media: Notes on Ongoing Revolution
Goetze, Trystan S. (2024). AI Art is Theft: Labour, Extraction, and Exploitation, Or, On the Dangers of Stochastic Pollocks. Proceedings of the 2024 Acm Conference on Fairness, Accountability, and Transparency:186-196.
Nath, R., Manna, R. From posthumanism to ethics of artificial intelligence. AI & Soc 38, 185–196 (2023). https://doi.org/10.1007/s00146-021-01274-1
Penulis: Renata