Artificial Intelligence dalam Seni: Generatif, tapi Tidak Kreatif

Self Portrait (1548) karya C. Hemessen; dimodifikasi oleh penulis
(Gambar asli: https://en.wikipedia.org/wiki/Catharina_van_Hemessen#/media/File:Hemessen-Selbstbildnis.jpg)

Teman-teman seniman pasti sudah tidak asing kan dengan penggunaan AI dalam komunitas seni? 

AI generatif menjadi konsekuensi tak terelakkan dari kemajuan teknologi dan sifat manusia yang terus mencari kemudahan. Dalam beberapa tahun ke belakang, dunia seni juga telah “diganggu” oleh kehadiran mesin berteknologi tinggi ini. 

Karya yang dihasilkan AI berasal dari proses mengolah kumpulan gambar-gambar dari internet yang berbentuk karya seni dan fotografi dengan bantuan mesin translasi (image-to-text). Popularitas AI mulai mengancam industri seni rupa, ditandai dengan banyaknya perusahaan dan brand yang mengganti pekerja kreatifnya dengan AI yang dianggap lebih murah. 

(Sumber: Joanna Maciejewska [@AuthorJMac] di Twitter. https://x.com/AuthorJMac/status/1773679197631701238)
Argumen utama yang menentang AI bukanlah tentang kemudahan proses ini yang seperti curang—tetapi dari aspek estetis dan etisnya. Karena dibuat oleh komputer dengan mencampurkan berbagai karya seni dan mengambil hanya aspek visualnya tanpa makna dan esensi intrinsik, nilai artistik dan kreativitas gambar yang dihasilkan AI wajar untuk dipertanyakan. Selain itu, AI Generatif mengumpulkan seni visual yang beredar di internet dan menggabungkannya untuk membuat karya yang benar-benar baru tanpa campur tangan langsung manusia. Keseluruhan proses ini mengkhawatirkan ketika kita ikut mempertimbangkan hak cipta dan realitas eksploitatif industri kreatif. Secara realistis, dengan AI mendominasi dunia seni rupa, seniman akan perlahan menghilang—dan tanpa adanya karya seni sungguhan, AI akan kehilangan mangsa dan ikut punah.

Dilihat dari konsekuensinya, jelas bahwa penggunaan AI bersifat destruktif terhadap perkembangan seni. Eksploitasi, masalah hak cipta, dehumanisasi—apakah belum cukup alasan-alasan faktual ini menjawab pertanyaan “emang kenapa sih?”? Nah karena ternyata jawabannya cukup simpel, rasanya penulis ingin bahas lebih dalam lagi…

Apa yang membedakan AI dengan Human Intelligence?

Jika ditelusuri, cara kerja AI sebagai mesin algoritma adalah dengan “menerjemahkan” gambar-gambar “referensi” menjadi sekumpulan teks, lalu teks yang di-input oleh pengguna akan diterjemahkan menjadi gambar kembali. AI akan menyusun gambar berdasarkan gambar-gambar yang pernah “dilihatnya” sebelumnya dan tidak mampu menciptakan hal baru—apapun yang tidak ada dalam database-nya. Mungkin bisa kita bandingkan dengan kemampuan manusia untuk menggambar hanya ketika kita pernah melihat wujud dari objek yang akan digambar. Jika dijauhkan lagi, proses generatif  AI mungkin bisa kita bandingkan dengan mannerism dalam sejarah seni (🤓☝️).

The Chinese Room Argument oleh John Searle yang menganalogikan perbedaan cara “berpikir” AI dan manusia
(Sumber: https://voegelinview.com/the-chinese-room-thought-experiment-by-john-searle/)

Yang membedakan adalah bahwa AI tidak memiliki agency seperti manusia. Ia tidak benar-benar cerdas, ia hanyalah sebuah mesin yang kecanggihannya melebihi pemahaman kebanyakan penggunanya. Agency—kesadaran, otonomi, otoritas—dalam AI terletak pada penggunanya. Kita tidak bisa membandingkan AI dengan kecerdasan manusia, karena “intelligence” dalam AI tidak bermakna sama dengan kecerdasan yang dimiliki manusia. Dengan tidak memiliki agency, maka AI juga tidak dapat dipandang sebagai seniman; begitu juga penggunanya yang tidak memiliki kesadaran dan pertanggungjawaban artistik atas karya yang diproses oleh AI.

 

Contoh pemanfaatan AI dalam proses berkarya sebagai alat
(Sumber: Clip Studio Paint User Guide: AI Tools [https://help.clip-studio.com/en-us/manual_en/390_filters/AI_Tools.htm])
Sebagai kesimpulan, saya mengusulkan pembatasan penggunaan AI pada otomatisasi—bukan proses kreatif yang tidak mampu dicapainya—dan bahwa statusnya harus tetap dilihat sebagai alat, bukan pengguna. Industri kreatif belum siap akan penggunaan AI, dipertimbangkan dari ketidakstabilan komunitas seni, kemungkinan eksploitasi yang sangat besar, dan hilangnya kebaruan dalam perkembangan seni rupa. AI yang hanya memiliki nilai visual menghilangkan bagian aspek kultural, historis, dan artistik dari karya seni—dan hal ini tentu mempengaruhi bagaimana masyarakat umum memandang seni, menyebabkan semakin menurunnya penghargaan atas seni dalam industri.

 

Referensi

Arielli, Emanuele & Manovich, Lev (2022). AI-aesthetics and the Anthropocentric Myth of Creativity. NODES 1 (19-20).

Arielli, Emanuele & Manovich, Lev (2023). Artificial Aesthetics. Chapter 5 (Lev Manovich): AI image and Generative Media: Notes on Ongoing Revolution

Goetze, Trystan S. (2024). AI Art is Theft: Labour, Extraction, and Exploitation, Or, On the Dangers of Stochastic Pollocks. Proceedings of the 2024 Acm Conference on Fairness, Accountability, and Transparency:186-196.

Nath, R., Manna, R. From posthumanism to ethics of artificial intelligence. AI & Soc 38, 185–196 (2023). https://doi.org/10.1007/s00146-021-01274-1 


Penulis: Renata

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top