Street Art: Ekspresi Visual yang Mengangkat Isu Sosial

We the Youth karya Keith Haring (sumber: maddoxgallery.com)

     Bagi para seniman yang tidak ingin kreativitasnya dibatasi oleh kertas dan kanvas, tembok-tembok jalananlah yang kemudian menjadi media bagi mereka untuk berkarya. Seni jalanan atau street art merupakan karya seni yang ditemukan di tempat-tempat umum, seringkali menggunakan warna-warna yang cerah. Meski kerap kali dianggap sebagai vandalisme karena ‘coretan-coretannya’ yang merusak ruang publik, seni jalanan justru menjadi wadah berekspresi yang efektif sebab dapat dilihat oleh semua orang. Oleh karena itu, seringkali seni jalanan berisikan himbauan maupun kritik terhadap isu-isu sosial. 

     Jika ditelusuri kembali, awal mula munculnya street art yang paling dikenal yaitu berasal dari kota New York, Amerika Serikat pada tahun 1960-1970. Pada masa itu, dinding gerbong kereta bawah tanah dipenuhi dengan grafiti dan simbol-simbol yang membentuk mural. Street art kemudian terus berkembang dan dianggap sebagai fenomena kebudayaan. Seiring perkembangannya, beberapa seniman menjadi pionir dalam membawa street art dari budaya jalanan menjadi sebuah bentuk kesenian. Salah satunya, seniman mural bernama Keith Haring. Aktivis dan seniman jalanan asal Amerika Serikat ini dikenal dengan karya muralnya yang berisikan kritik terhadap isu-isu sosial. Karyanya, Crack is Wack, yang dilukis pada tahun 1986, berisikan himbauan mengenai bahaya narkotika kokain (crack) yang pada masa itu dikonsumsi secara luas dan bebas hingga menyebabkan epidemi di New York. Hingga kini, karyanya tersebut ditetapkan sebagai monumen di sebuah taman di East Harlem.

 

Monumen Mural Crack is Wack
(sumber: nycgovparks.org)

     Selain itu terdapat juga seniman asal Inggris, Banksy, yang menampilkan kritik terhadap isu lingkungan di perkotaan. Karyanya di Finsbury Park, London, menampilkan cipratan cat hijau yang membentuk menyerupai dedaunan di belakang batang pohon yang telah dipangkas. Banyak orang mengartikan karyanya ini sebagai simbol kekejaman manusia terhadap lingkungan, cipratan cat hijau menggambarkan bagaimana bentuk pohon tersebut seharusnya, berdaun lebat dan berbunga ketika musim semi, tetapi kini hanya tersisa batang pohon yang tampak mati sebab daunnya telah dipangkas habis.

Karya Banksy di Finsbury Park, London
(sumber: artnews.com)

     Di indonesia sendiri terdapat Komunitas Pojok, kelompok street artist asal Bali yang aktif menyuarakan kritik politik melalui mural. Karya mereka di tahun 2018 lalu yang berjudul The Missing Link menampilkan wajah tokoh-tokoh kritis Indonesia yang dihilangkan dan kasusnya hingga kini masih belum terselesaikan. Mural tersebut menggambarkan komentar terhadap pemerintah yang tidak kunjung menuntaskan berbagai permasalahan di masa lalu.

Mural The Missing Link karya Komunitas Pojok (sumber: baliexpress.jawapos.com)

     Dengan memanfaatkan tempat publik, para seniman jalanan mentransformasi tembok-tembok perkotaan yang semula hampa menjadi ruang untuk menyuarakan dan mempromosikan isu-isu sosial kepada khalayak ramai. Dengan demikian, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu yang ada, tanpa menggunakan kata-kata, dan membiarkan seni berbicara sendiri kepada audiensnya.

 

Referensi:

Crack Is Wack Playground. (n.d.). https://www.nycgovparks.org/parks/crack-is-wack-playground/monuments/

Elton, L. (2024, Maret 18). ‘The image says it all’: The meaning behind Banksy’s new London tree mural, revealed. Big Issue. https://www.bigissue.com/culture/art/banksy-london-mural-tree-meaning-finsbury-park/

Hencz, A. (n.d.). Street Art: History of the Art Movement and the Artists That Turned Cities Into Open Sky Museums. Artland Magazine. https://magazine.artland.com/street-art/

Pramana, G. I., & Irfansyah, A. (2019). Street Art Sebagai Komunikasi Politik: Seni, Protes, dan Memori Politik, 1(2), 98-108. Jurnal Ilmiah Widya Sosiopolitika. https://doi.org/10.24843/JIWSP.2019.v01.i02.p04

 

Penulis: Ninanifah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top