The Eternal Flame, Menangkapi dan Mewarisi Kekhasan Merapi dengan Kuas

Pemandangan di sekitar Gunung Merapi karya Abdullah Suriosubroto (Sumber: National Geographic)

Hiruk pikuk kota Jogja bermula dari pagi hari. Tak beda halnya bagi mahasiswa yang mengawali hari nya dengan kelas pagi. Bergegas mengejar lampu merah dan mulainya kuliah, terasa sekali bahwa Jogja termasuk kota yang padat.

Namun, di tengah perjalanan di kota, muncul dari ujung pandangan mata, suatu figur yang mendominasi cakrawala. Sinar matahari lembut menyinari puncak yang diselimuti awan-awan anggun. Menjulang tinggi ke langit di atas kabut pagi yang membungkus lereng-lerengnya, dan mengagumkan semua yang melihatnya. Berdirilah dengan gagah dan menawan, Gunung Merapi.

             Dengan keindahan bagaikan Gunung Merapi, tidak heran fitur alam megah ini adalah simbol Yogyakarta dan Nusantara. Signifikansi Gunung Merapi terlihat dari bagaimana kita memandangnya, baik sebagai harta wisata nasional, maupun sebagai patokan untuk arah mata angin utara. (Purnomo, 2023) Pemandangan Gunung Merapi merupakan kebiasaan bagi masyarakat sekitar, namun hal itu tidak memperkecil kemegahannya yang kita rasakan.

             Namun saja, Gunung Merapi tidak hanya menyentuh hati warga, tetapi menangkap imajinasi dari berbagai seniman yang menjumpainya juga. Seniman dari berbagai bangsa, latar belakang dan pandangan berbeda. Dari masa ke masa, generasi ke generasi, berbagai pelukis menatapi raksasa alam itu, dan terdorong oleh keindahannya untuk membuat karya yang dapat menyetarai keanggunannya. Perjuangan ini terdokumentasi dalam hasil karya yang mereka tinggalkan untuk diwarisi generasi selanjutnya, masing-masing dengan cita rasanya sendiri. Namun, goresan pertama kuas berawal relatif tidak lampau.

Lukisan Pertama dengan Gunung Merapi berjudul Pemandangan Reruntuhan Kuil Bramin di Brambanang karya H. C. Cornellius (Sumber: Wacana)

Jejak Gunung Merapi dalam kanvas bermula pada abad ke-19. Walaupun sudah diketahui masyarakat lokal sejak dahulu, lukisan-lukisan pertama dari Gunung Merapi muncul setelah akses menuju daerah itu sudah terkembang. Sebelumnya, jalan menuju Gunung Merapi dihalangi oleh hujan tropis yang menjadikan akses ke sana tidak mungkin. Setelah adanya jalan yang dapat bertahan lebih lama, mulailah penjelajah Eropa yang muncul dan menggambarkan alam sekitar sana.

Kaldera Mara-Api karya Payen (Sumber: Wacana)

Salah satunya adalah Antoine Auguste Joseph Payen. Sebagai seniman dari tim ekspedisi dipimpin Caspar Georg Reinwardt atas suruhan raja Belanda masa itu, Willem I, ia bertugas dalam menggambarkan apa saja yang mereka temukan selama ekspedisi itu. (Mohammad, 2022) Hasil dari gambaran yang ia buat adalah lukisan dari kaldera yang berada di puncak nya. Lukisan yang dibuatnya memberi gambaran yang lebih sederhana, merincikan detail-detail yang diperlukan dengan warna yang tidak begitu mencolok. Tentu saja ini dikarenakan tanggung jawabnya sebagai pelukis dalam ekspedisi ilmiah adalah membuat gambaran dengan detail yang akurat.

Gambar yang ia buat ini, walaupun tidak sedramatis lukisan-lukisan setelahnya, merupakan lukisan pertama Gunung Merapi dari dekat. Payen bukanlah satu-satunya pelukis yang mendatangi Gunung Merapi untuk menggambarnya dengan tujuan ilmiah. Pelukis seperti Franz Wilhelm Junghuhn, seorang ilmuan asal Jerman, berperan penting juga dalam memberi gambaran-gambaran pertama dari Gunung Merapi dengan lukisannya yang meliputi fitur-fitur alam yang terdapat di sana.

Bagian Selatan Ejection Cone Merapi karya Junghuhn (Sumber: Wacana)

Dengan beriringnya waktu, pelukis lainnya mulai menggunakan Gunung Merapi sebagai inspirasi dari karya mereka yang berarah ke ranah artistik dari pada ilmu pengetahuan. Dan dengan berkembangnya pendidikan di Hindia Belanda, berkembanglah berbagai artis dari kaum pribumi yang ingin menangkap keindahan Gunung Merapi, seperti Abdullah Suriosubroto. Anak dari seorang dokter, ia memulai pendidikannya dalam sekolah kedokteran di Batavia. Namun setelah pindah ke Belanda, ia memutuskan untuk menjadi seniman dan memasuki sekolah seni rupa. Setelah kembali ke Indonesia, ia menggunakan ilmu yang ia dapatkan di Belanda untuk melukis pemandangan alam Nusantara.

Pengaruh Romantisme yang marak di Eropa pada zaman itu terlihat dengan jelas dalam lukisan-lukisannya. Sekarang, ia dikenal sebagai pelopor dari gaya lukisan “Mooi Indie”. (Mukhaer, 2022) Hasil dari gaya ini meliputi juga lukisannya atas Gunung Merapi, berdiri dengan perkasa di tengah lukisan dikelilingi oleh hutan dan sawah, memberi gambaran alam Nusantara yang indah dan tenang. Bakat melukis ini diwarisi juga oleh anaknya, Basuki Abdullah, seorang tokoh nasional yang terkenal dengan gaya realisnya. Namun, sama seperti ayahnya, pengaruh keindahan Gunung Merapi juga mengambil alih dari Basuki, sehingga ia membuat juga lukisan atas subjek yang sama pada saat tenteramnya.

Lukisan Sawah dan Gunung dalam gaya “Mooi Indie” karya Abdullah Suriosubroto (Sumber: National Geographic)
Gunung Merapi dan Kali Opak karya Basuki Abdullah (Sumber: Indonesian Visual Art Archive)

Namun, Gunung Merapi tak dapat menahan dirinya dalam ketenangan. Di balik kehijauan dari flora yang mengitari Gunung Merapi, terdapat di tanahnya sisa letusan-letusan dahsyat yang telah disemburkannya selama berjuta-juta tahun, dan kehancuran yang dibawanya hal tak akan berhenti selama Gunung Merapi tetap aktif. Tanpa tanda-tanda apa pun untuk segala makhluk hidup sekitarnya, ketenteraman yang ada menghilang sejenak, dan diganti oleh kegelapan abu vulkanik, dan gemuruh dari ledakan yang menggemparkan, diikuti dengan api dan panas bagaikan neraka dari aliran batuan meleleh yang menghanguskan segala sesuatu sekitarnya.

Letusan-letusan itulah yang menjadikannya sesuatu yang ditakuti sekaligus dikagumkan. Letusan seperti ini sempat terjadi pada tahun 1864, dan mengambil perhatian seorang tokoh nasional bernama Raden Saleh Syarif Bustaman.

Letusan Merapi di Siang Hari karya Raden Saleh (Sumber: Wacana)

Sebagai seseorang dengan jabatan prestisius sebagai “schilders des konings” atau pelukis raja, ia telah diakui sebagai pelukis yang amat bertalenta. Walaupun ia tertarik dengan segala hal vulkanik, ia tidak bisa melukis letusan itu karena ia masih berada di Batavia ketika erupsi Januari tahun 1864 terjadi. Namun, saat ia mendengar tentang kesempatan untuk pergi ke Yogyakarta untuk menemukan artefak , ia segera mengambil kesempatan itu untuk melihat Gunung Merapi.

Selama waktunya di sana, aktivitas Gunung Merapi meningkat dan warga mulai takut akan terjadi erupsi. Raden Saleh melihat ini bukan sebagai peringatan, tetapi sebagai kesempatan emas, dan bergegas pergi ke Gunung Merapi untuk membuat sketsa dari erupsi yang terjadi. Hasil dari sketsa itu ia buat menjadi lukisan pertama letusan Gunung Merapi. Erupsi yang ia lukis dilatarbelakangi langit pada siang dan malam hari, mengimpit letusan yang berasap-asap, melontari batuan vulkanik ke sekitarnya. Pada lukisan malam hari, ia menangkapi momen ketika aliran piroklastik yang bersinar oranye mengucur dari kaldera. Kedua lukisan Gunung Merapi Raden Saleh masih mengagumkan orang-orang sampai hari ini.

Letusan Merapi di Malam Hari karya Raden Saleh (Sumber: Wacana)

Namun saja, kekaguman bukanlah sesuatu yang dialami setiap orang seketika Gunung Merapi meletus. Kehancuran yang dapat dimunculkan oleh Gunung Merapi tidak bisa dihiraukan, terutama ketika malapetaka yang dibawanya masuk ke dalam hidup sehari-harian warga. Berkali-kali dalam sejarah manusia letusan gunung berapi membawa kekacauan dan kematian terhadap masyarakat, dan Merapi tidak berbeda. Letusannya telah mengakibatkan berbagai kesusahan dan ketakutan bagi penghuni sekitarnya, yang pada akhirnya menghasilkan kesedihan dan hilangnya nyawa. Kejadian seperti ini ditangkapi oleh Frederik Kasenda pada tahun 1930. Pada 18 Desember, Gunung Merapi mengamuk dengan letusan dahsyat. Bencana ini mengambil nyawa dari 1369 orang, dan menghancurkan 1100 rumah di sebelas desa. Melihat malapetaka ini, Kasenda membuat sekumpulan lukisan yang menggambarkan bagaimana kondisi masyarakatnya. Daripada menitikberatkan letusannya sendiri seperti lukisan-lukisan lain, Kasenda berfokus pada kesengsaraan yang dialami warga.

Di salah satu lukisannya, ia melukis skenario pengungsi yang melarikan diri dari Gunung Merapi. Pada lukisan ini, warga desa mengungsi dengan apa adanya. Orang-orang ingin melarikan diri dalam urgensi, sehingga mereka menumpuk-numpuk ke dalam gerobak. Kemurungan dan ketakutan yang dirasakan warga dilatarbelakangi letusan Gunung Merapi dan kehancuran sekitar yang dilakukannya.

Pengungsi di Jalan pada saat Meletusnya Merapi karya Kasenda (Sumber: Wacana)

Dengan membuat lukisan-lukisan ini, Kasenda juga melakukan upaya dalam membantu korban bencana Merapi. Hasil karya Kasenda dijualnya di berbagai pameran yang ia adakan, dan diberikannya 20% dari laba hasil jualan kepada korban-korban. Masyarakat umum mendukung upaya Kasenda dan membeli karya-karyanya, sehingga ia dapat melakukan pameran lagi dan melanjutkan pendanaan untuk para korban. Penggalangan dana untuk membantu yang kesusahan seperti ini sangatlah unik pada zaman penjajahan. Karya Kasenda dan usahanya menandakan kemampuan seni lukis untuk menimbulkan empati bagi orang-orang yang sedang dalam masa penuh kesulitan, dan bahkan membantu mereka dalam membangun kembali.

Tentu saja, reputasi Merapi menjadikannya simbol yang melebihi potensinya dalam menimbulkan bencana. Gunung Merapi merupakan bagian penting dari budaya Nusantara, baik itu dari sejarahnya maupun dari keindahan alamnya. Begitu besar pengaruh budaya Merapi di Indonesia, sehingga itu berupa keunikan yang tak terlepas dari tanah airnya. Hal ini memunculkan dirinya dengan jelas dalam berbagai karya anak bangsa yang khas.

Sebagai orang religius, agama berperan besar dalam kehidupan Basuki Abdullah. Ia ingin menggambarkan sesuatu yang ia anggap sangat penting, namun dengan interpretasinya sendiri. Hal ini ia tuaikan dalam bentuk lukisan yang amat unik dan megah, yang ia beri judul “Maria Assumpta”. (Kemdikbud, 2019) Karya ini melukiskan penampakan Bunda Maria dengan busana Jawa. Ia berdiri di awan-awan dengan aura kekudusan dan kemurnian, menyinari pemandangan alam Nusantara. Di sana berpijaklah dengan gagah, Gunung Merapi. Penuh keanggunan dan dikelilingi sawah dan hutan, seperti karya yang ayahnya lukiskan.  Karya ini sekaligus menyajikan kepercayaan sang pelukis dan sekaligus membuatnya terikat dengan Indonesia secara unik dan spesial. Tak bisa kita singkirkan peran penting Gunung Merapi dalam membawa rasa ke-Nusantara-an pada lukisan menarik ini.

Maria Assumpta karya Basuki Abdullah (Sumber: The Jakarta Post)

Pengaruh Gunung Merapi sangatlah terasa dalam karya seni lukis Nusantara. Keindahan, keagungan dan misteri yang tersirat dalam Merapi tidak dibatasi oleh waktu dan zaman spesifik untuk dinikmati, ditafsir, direnungi dan dijadikan inspirasi oleh generasi sebelum dan sesudah. Makna artistiknya melintasi genre dan kebangsaan. Namun, pastinya Merapi adalah bagian integral dari gambaran Indonesia. Layaklah kita lanjutkan apa yang telah diwarisi oleh generasi sebelumnya, dan membuat hal baru dalam karya kita sendiri, dengan pandangan kita sendiri. Ingatlah itu saat kamu melintasi pemandangan Gunung Merapi lagi!

Referensi:

Mohammad, G. S. (2022). Mount Merapi in drawings and paintings; A dynamic reflection of nature, 1800-1930. Wacana, 23(1), 64–96.

https://researchportal.murdoch.edu.au/esploro/outputs/journalArticle/Mount-Merapi-in-drawings-and-paintings/991005542000807891

Kemdikbud (2019). Goresan Bunda Maria Dalam Sentuhan Wanita Jawa. Museum Basoeki Abdullah.

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mba/goresan-bunda-maria-dalam-sentuhan-wanita-jawa/

Mukhaer, A. A. (2022, May 18). Abdullah Suriosubroto, Pelopor Lukisan Mooi Indie di Hindia Belanda. National Geographic Indonesia

https://nationalgeographic.grid.id/read/133284434/abdullah-suriosubroto-pelopor-lukisan-mooi-indie-di-hindia-belanda?page=all

Purnomo R. S. (2023, November 20). Mata Angin sebagai Penunjuk Arah di Jogja. Kumparan.

https://kumparan.com/ramadhan-sutan-1695133704236269002/mata-angin-sebagai-penunjuk-arah-di-jogja-21bruIYXkDW

Abdullah Suriosubroto. Indonesian Visual Art Archive.

http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/abdullah-suriosubroto-1

Gunung Merapi dan Kali Opak, Rekaman Karya. Indonesian Visual Art Archive.

http://archive.ivaa-online.org/artworks/detail/11386

Dermawan A. (2019, Juni 19), Tracing the Indonesian Virgin Mary in Basoeki Abdullah’s Maria Assumpta. The Jakarta Post.

http://www.thejakartapost.com/life/2019/06/19/tracing-the-indonesian-virgin-mary-in-basoeki-abdullahs-maria-assumpta.html

 


Penulis: Arnoldo Gueveron S.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top