Art Therapy: Pesona Seni Lukis Sebagai Terapi Mental

Dari berbagai macam jenis yang dimiliki oleh seni, seni rupa menjadi induk dari semuanya. Seni rupa dikategorikan dalam dua jenis yaitu yang bersifat seni murni atau hanya dinikmati keindahannya saja, maupun seni terapan yang bersifat memiliki guna. Keduanya sama-sama menjadi bentuk pengungkapan atau penyampaian sebuah pesan nilai simbolis, emosional, intelektual atau religius (Salam & Muhaemin, 2020). Salah satu jenis kesenian yang menggunakan pendekatan visual dalam penyampaian pesan adalah seni lukis. Seni lukis merupakan kegiatan mengolah media dua dimensi atau permukaan tiga dimensi untuk memperoleh kesan tertentu yang melibatkan emosi dan ekspresi penciptanya. Kesan tersebut didapatkan dari unsur yang membentuk seni tersebut seperti sebuah pesona.

Alfred Gell (1991) menyatakan bahwa seni merupakan technology of enchantment atau teknologi pesona. Pesona yang dimaksudkan disini diperoleh dari teknik di luar keseharian. Kemampuan seseorang menjadi bagian penting untuk mengolah materi hingga menghadirkan dan menyajikan pesona dalam bentuk karya seni. Kehadiran pesona berakar dari kerumitan penerapan teknologinya. Dalam tulisan ini, teori dari Gell akan digunakan untuk mempelajari teknologi pesona terhadap konteks terapi kesehatan mental seseorang (Simatupang, 2013).

Prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dari gejala depresi dan kecemasan usia 15 tahun ke atas mencapai angka 14 juta orang atau sekitar 6% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. Perilaku psikologis yang dikatakan tidak normal ini bisa mengganggu diri sendiri maupun orang lain. Perilaku penderita gangguan psikologis biasanya disebabkan oleh stress atau tekanan. Sumber dari stress disebut dengan stressor. Stressor dipengaruhi oleh pengalaman kesenjangan harapan dan kenyataan hidup seseorang (Sumbono, 2013).

Tidak ada satupun orang yang kebal akan kondisi yang menekan atau tegang (Ekawarna, 2018). Mulai dari siswa yang tegang dan stress ketika mendekati masa-masa ujiannya. Orang yang terburu-buru mengalami stress ketika terjebak dalam kemacetan. Orang yang mencoba berkali-kali namun terus gagal akan lebih rentan mengalami stress pada percobaan selanjutnya. Kekurangan manusia atau disabilitas juga menjadi sumber stress dalam masalah penerimaan keadaan diri sebagaimana adanya. Semua masalah setiap pribadi yang membawa stress dapat membuat perilaku orang berbeda dan lebih cenderung ke arah yang menyimpang. 

Sebagai usaha untuk mengatasi perilaku yang disebabkan oleh gangguan stress, berbagai jenis terapi terus berkembang. Terapi seni adalah suatu terapi yang melibatkan proses kreasi dan apresiasi seni sebagai bentuk instruksi dan arahan terapi. Terapi menggunakan pesona seni dengan mengeksplorasi perasaan atau konflik emosi dapat mengontrol perilaku, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan kesadaran diri (Mahardika, 2017). Seni lukis dapat diaplikasikan sebagai bentuk terapi dalam kajian terapi seni.

Seni lukis yang digunakan dalam terapi memiliki kaitan dengan aspek kontemplatif atau sublimasi. Kontemplatif adalah sebuah proses atau cara menyalurkan segala sesuatu yang bersifat atau berasal dari jiwa, seperti ingatan atau perasaan ketika membuat karya seni (Anoviyanti, 2008). Seni memiliki pesona pada psikologis manusia melalui seni lukis yang menjadi terapi dalam pelepasan emosi (katarsis), pengalihan perilaku buruk (sublimasi) dan motivasi. Aspek ini yang menjadi fungsi optimal dari pesona dalam konteks penggunaan seni sebagai teknologi terapi mental.

Melukis menjadi media katarsis bagi seseorang atau untuk menuangkan segala emosi yang dialaminya dalam hidup secara bebas. Emosi yang tersalurkan dengan baik dengan cara yang positif melalui melukis membantu seorang menjadi lebih tenang dan mengurangi tekanan yang terpendam. Proses ekspresi emosi menjadi hal utama dalam art therapy. Pengalaman katarsis ditandai dengan perasaan lega atau lelah setelah melakukan kegiatan seni. Katarsis juga berfungsi untuk manajemen stress. Dengan memfokuskan emosi, keadaan emosi seseorang menjadi lebih stabil dalam menghadapi keadaannya (Ratna, 2014).

Selain katarsis, dampak dari aktivitas seni lainnya adalah sublimasi. Sublimasi adalah pengalihan emosi negatif pada suatu hal yang lebih dapat diterima sebagai mekanisme pertahanan diri. Seni lukis digunakan sebagai media menuangkan kecemasan dan stress yang dirasakan dengan substitusi perilaku, pengalihan perilaku sekaligus penemuan bakat. Sublimasi berkaitan dengan katarsis, tetapi memiliki fokus yang berbeda. Katarsis berfokus pada ekspresi, sementara sublimasi berfokus pada penghalusan impuls primitif menjadi sesuatu yang lebih tinggi (Sumbono, 2021).

Setelah mengalami terapi terjadilah peningkatan motivasi. Peningkatan motivasi dinilai sebagai bentuk pengalaman terapi. Proses berkesenian yang dialami membawa pengalaman terapi yang berbeda yang kemudian memengaruhi perspektif. Dapat dilihat bahwa aktivitas seni memiliki potensi untuk memberi pengalaman terapi mental pada pelaku seni. Hal yang dicapai dari penerapan teknologi pesona sebagai sarana terapi mental adalah mengubah seni yang abstrak seperti keadaan perasaan seseorang yang abstrak menjadi sebuah karya seni yang konkrit yang bermanfaat pada terapi stabilitas kesehatan mental seseorang.

Art therapy atau terapi seni memiliki peluang yang besar terhadap stabilitas mental seseorang. Teknik ini memberikan kenyamanan pada seseorang. Pelukis mampu mendapatkan perasaan bebas dalam pengungkapan emosi, pikiran, perasaan atau apapun yang tidak bisa diungkapkan secara langsung. Dengan begitu, seni yang dihasilkan memiliki arti mendalam tersendiri bagi pelukisnya. Namun di samping itu, terdapat keterbatasan dari penerapan terapi seni yaitu pada teknisnya. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah karya seni yang menjadi art therapy tidak bisa ditentukan dan dibutuhkan ruang eksklusif untuk kenyamanan terapi. Selain itu, dibutuhkan seorang konselor yang mengarahkan terapi agar hasil menjadi efektif.

Dengan diangkatnya topik tentang keadaan kesehatan mental,  perasaan tersebut dapat menjadi dasar yang kemudian dapat diekspresikan ke dalam karya seni lukis yang diciptakan. Melalui aspek seni, kita dapat melihat pesona seni dari visualisasi alam bawah sadar manusia. Kerumitan penerapan teknik seni lukis sebagai pesona yang disebutkan oleh Simatupang (2013) dapat diperoleh dari proses penyaluran emosi abstrak hingga menjadi sebuah bentuk konkrit. Hasil dari ekspresi tersebut yang berupa karya lukis adalah ungkapan ekspresi secara sadar dari pelukis. Dengan terciptanya pesona tersendiri dalam karya tersebut, pesan dapat disampaikan melalui karya sehingga dapat diapresiasi oleh masyarakat.

Penulis: Eve

Scroll to Top